Harga minyak dunia naik sekitar 3 persen pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), 18 Agustus.

Kenaikan ini didorong kuatnya konsumsi bahan bakar di Amerika Serikat dan data ekonomi negara tersebut yang melaju ke jalur positif.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober naik US$ 2,94 atau 3,1 persen, Harga minyak Brent menjadi US$ 96,59 per barel di London ICE Futures Exchange.

Sementara itu, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman September menguat US$ 2,39 atau 2,7 persen.

Harga minyak WTI menjadi US$ 90,50 di New York Mercantile Exchange.

Kondisi ini mengimbangi kekhawatiran pasar akan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi yang bisa melemahkan permintaan.

“Harga minyak reli setelah data ekonomi Amerika Serikat yang mengesankan mendorong optimisme untuk prospek permintaan minyak mentah yang membaik,” kata analis pasar senior di perusahaan data dan analitik OANDA, Edward Moya, Jumat, 19 Agustus.

Moya juga mencatat bahwa OPEC tidak akan membiarkan penurunan harga minyak berlanjut lebih jauh.

Stok minyak mentah Amerika turun 7,1 juta barel dalam seminggu hingga 12 Agustus.

Data Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) menunjukkan ada ekspektasi penurunan 275 ribu barel karena ekspor mencapai rekor 5 juta barel per hari (bph).

Di sisi lain, larangan oleh Uni Eropa untuk mengekspor minyak Rusia diduga bisa memperketat pasokan dan menaikkan harga dalam beberapa bulan mendatang.

“Embargo Uni Eropa akan memaksa Rusia untuk menutup sekitar 1,6 juta barel per hari produksi pada akhir tahun, naik menjadi 2 juta barel per hari pada 2023,” kata penelitian konsultan BCA dalam sebuah catatan.

Namun, Rusia memperkirakan ada peningkatan produksi dan ekspor hingga akhir 2025.

Pendapatan dari ekspor energi juga akan naik 38 persen tahun ini, sebagian karena volume ekspor minyak yang lebih tinggi.

Harga minyak naik meski ada kemungkinan peningkatan pasokan dari Iran dan kekhawatiran bahwa permintaan bisa turun jika Cina memberlakukan lockdown.

Berasamaan dengan itu, ada potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi karena bank sentral menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi yang tak terkendali.

ANTARA Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.